Edensor; Menggoda marabahaya

‘Bermimpilah, kerna Tuhan akan memeluk mimpi itu’

Menyelak selembar demi selembar helaian Edensor membenih harapan baru untuk memupuk mimpi yang pada dasarnya sukar diterima logika akal. Namun dengan optimis ia mereka mimpi lalu memeluk mimpinya seperti enggan lepas hingga akhirnya mimpi itu membawa sang pemimpi yang setia, menawan puncak jaya.

Olahan cerita yang menyulam makna, kehidupan itu terletak pada perspektif mata yang melihat. Menilai damai hidup sebagai brengset penjebak jati diri, si peria seribu nama itu menggoda marabahaya untuk menampil diri. Dia berkelana berteman si pengusung mimpi, Arai, untuk mengumpul mozek-mozek kehidupannya. Lalu dicantum kepingan-kepingan tersebut menjadi epilog yang mampu memutik recup bara pembakar motivasi pembaca. Bergelintang atas bumi Tuhan, merentas serpihan buana, bukan sedikit ilmu yang boleh ditimba. Setiap frasa membuka ruang persoalan di minda pembaca;

’Apa yang berlaku selanjutnya?’

Lalu pembaca menggelendang penasaran, hanyut dalam dakapan sifat ingin meneroka.

Jalinan ilmu dan kehidupan bertapuk, dimuntahkan dalam bait sastera yang nyaman. Ulas jenaka dalam rima yang matang, menggambarkan kebijaksanaan penulis bermain dengan emosi dan bait puitis. Bahasanya kadang mengetuk rasa ’tidak bersendiri’ . Seolah terjalin komunikasi antara dua manusia secara maya, melalui medim perantara; curahan pena.

Aku melapah isi kitab Edensor sambil berguling-guling santai dengan sekali lahap. Menghirup aroma sasteranya dan mengunyah belahan ilmu perlbagai budaya. Nikmatnya umpama hirupan si kopi hitam pekat sambil menggentel puding karamel yang enak. Lalu menutup santapan dengan suam-suam sata yang tak lama diangkat dari pembakar. Nyaman sekali.


Tika mula menggeledah isi perut Edensor, aku terpukau dek lenggok bahasanya yang bersahaja tapi punya pesona maharaja. Kendian aku mencari perihal penulisnya, si andrea hirata. Hebat; trilogi bangsawan rupanya. Tapi aku langkah bendul, Edensor yang kutatap dulu. Masih lagi mencari si Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi.
(ohh... laskar pelangi; perlukah aku bertanya pada si Sang Pelangi? ^^)


Menyelusuri kalimah-kalimah mandragunanya, sarananku agar kau berteman tesaurus melayu jika kau sedar ilmu kamu hanya setitis samudera.


Terus aku simpulkan;
- Mengukir kata tidak semudah menghambur isi jiwa, tanpa ilmu.
- Sumber ilmu bagi bidak catur hidup ialah buku dan pengalaman.
- Penulis tergambar sebagai manusia yang hidungnya akrab terpacak dengan kitab ilmu, mahupun pengembara yang melata untuk memburu ilmu.
- Tinta yang hanya membina jalinan sastera tanpa makna adalah sampah.


p/s: Ingin bertanya, siapa ada kamus dewan bahasa? Aku mahu pinjam n_n